Minggu, 24 April 2016

AGAMA DAN PEMBINAAN AKHLAK

Akhlak menempati posisi yang sangat sentral dalam ajaran Islam. Akhlak harus senantiasa hadir dan menghiasi segenap aktivitas kehidupan muslim baik dalam hal akidah, ibadah, maupun muamalah. Saking urgennya akhlak, Nabi Muhammad saw bersabda: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia” (HR. Muslim).
Ibarat pohon, akhlak adalah buah dari proses menerapkan akidah dan syariah/ibadah yang benar. Akhlak merupakan manifestasi iman, Islam, dan ihsan sebagai refleksi sifat dan jiwa yang secara spontan dan terpola pada diri seseorang sehingga melahirkan perilaku yang konsisten dan tidak tergantung pada pertimbangan berdasarkan keinginan tertentu. Makin kuat dan mantap keimanan seseorang, makin taat beribadah, maka makin baik pula akhlaknya.
Jadi akidah, ibadah, dan akhlak merupakan satu rangkaian. Seseorang yang mengamalkan akidah dan syariah dengan baik dan benar, niscaya akan terpancar darinya akhlak yang mulia. Sebaliknya, jika ada orang yang mengaku muslim yang taat, rajin beribadah, namun berperangai jelek, berbuat zalim pada dirinya atau orang lain, dapat dipastikan ada yang salah dalam pengamalan akidah dan syariahnya.
Akhlak adalah ukuran kualitas pribadi seorang muslim. Nilai keimanan sesungguhnya terletak pada akhlaknya. Rasulullah bersabda:“Sesungguhnya yang paling unggul di antara kamu adalah orang yang paling baik akhlaknya” (HR. Bukhari).
Namun ironisnya, di negeri yang mayoritas muslim ini, yang dalam setiap ritual ibadahnya selalu semarak, justru masyarakatnya mengalami krisis akhlak. Hampir semua sektor kehidupan umat mengalami krisis akhlak yang kemudian melahirkan berbagai macam kebejatan dan kezaliman. Pangkal krisis itu adalah orientasi hidup materialistik dan gaya hidup hedonistik yang bersumber dari ketidakmampuan manusia mengontrol hawa nafsunya.
Fenomena orang-orang beragama yang terbuai dalam pola hidup materialis-hedonis menunjukkan ada yang salah dalam praktik keberagamaannya. Kesalahan itu terletak pada ritualisasi dan formalisasi agama sebatas aktivitas fisik, sekadar memenuhi syarat dan rukun. Peribadatan dan penghambaan pada Tuhan hanya diukur sah-tidaknya berdasar kesesuaian lahiriah dengan teks wahyu, sementara hatinya tidak khusyuk, niatnya tidak tulus karena Allah.
Agama Islam hakikatnya ingin memperbaiki dimensi batin manusia agar ia mampu mengendalikan hawa nafsunya. Karena itu berislam dimulai dari “iman” yang kokoh dalam hati. Syahadat adalah ikrar seorang mukmin untuk menempatkan Allah di atas segala-segalanya dan menjadikan Muhammad sebagai tolok ukur kehidupannya.
Tujuan hidup muslim adalah beribadah pada Allah swt sepanjang hayatnya sebagaimana ditegaskan dalam QS. adz-Dzariyat (51): 56. Secara formal, Islam telah menetapkan peribadatan itu dalam bentuk lima rukun yaitu, syahadat, salat, zakat, puasa, dan haji. Namun di luar ibadah yang formal, dalam keadaan dan situasi apa pun seorang muslim semestinya juga tetap dalam peribadatan pada Allah.
Peribadatan itu tetap terjalin jika ia mampu menjaga hatinya untuk selalu ingat (zikr) pada Allah, menjaga kesadarannya bahwa ia senantiasa dalam pengawasan Allah, dan menjaga perilakunya agar senantiasa mengikuti sunah Rasulullah. Muslim semacam inilah yang dalam kehidupannya mampu mengendalikan hawa nafsu sehingga tidak tergoda oleh gemerlap materi duniawi dan gaya hidup hedon. Muslim seperti inilah yang memancarkan akhlak mulia dalam pribadi dan tindak tanduknya.
Ibadah puasa adalah salah satu instrumen agama untuk membina akhlak. Namun hal ini akan tercapai jika puasa bukan sekadar ritual menahan lapar dan dahaga. Puasa hakikatnya adalah latihan pengendalian diri untuk mengontrol hawa nafsu. Muslim yang puasanya benar ia memancarkan akhlak sidik, amanah, sabar, dan tawaduk.
Prof. Drs. H. Akh. Minhaji, M.A., Ph.D
Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar